MAKALAH
MEMBANGUN
KEADILAN HUKUM
( Hakim Harus
Adil dan Terpercaya )
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah
: Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu : Muhammad Hufron, M.S.I
Disusun oleh :
Ahmad Ainun Najib
2021110093
Kelas : B
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN
Al qadha’
secara etimologi adalah bentuk masdar dari qadha, yaqdhi qadha’an fahuwa
qaqdhin. Al qadha’ dapat diartikan dengan beberapa arti, yaitu: menetapkan
hukum, memisahkan, menghukumi, melewati, selesai dari sesuatu dan menciptakan.
Makna yang nampak dalam pembahsan in adalah menetapkan hukum.
Bentuk jamak
dari al-qaha’ adalah aqdhiyah. Kata al qadha dapat dijamak, sekalipun berupa
masdar. Pada hakekatnya masdar tidak dapat dibuat jamak dari sisi jenisnya.
Secara
terminologi, makna al qadha’ berarti menetapkan hukuman dan memisahkan
persengketaan.
Menetapkan
hukum syariat merupakan fardhu kifayah. Masyarakat harus mempunyai seorang
hakim agar hak-hak mereka tidak sia-sia.
Dalam aspek
hukum terdapat keutamaan yang besar bagi siapa saja yang kuat mengembannya
serta melaksanakan hak-haknya. Pelaksanaan hukum lebih utama dari ibadah
lainnya yang dilandasi dengan niat. Dalam pelaksanaan hukum terdapat hal yang
sangat strategis sekali dan berdosa besar bagi orang yang tidak melaksanakan
haknya.
Seorang
pemimpin muslim harus memilih jabatan ini bagi orang yang paling utama dalam
hal ilmu pengetahuan dan sifat wara’.
Apabila tidak ditemukan, maka carilah yang ideal kemudian yang sedang dan
seterrusnya.
Seorang
hakim harus memiliki etika di mana hal tersebut dikemukakan dalam kitab Al
Qadha yang baik sekali apabila merujuk kepadanya.
A. MATERI
HADIST
عَنْ
ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
قَالَ : (الْقُضَاةُ ثَلاَ ثَةٌ وَا حِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ
فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجَلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ
عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى للنَّاسِ
عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّا رِ ) قَالَ أَبُو دَاوُد وَ هَذَا أَصَحُّ شَيْ
ءٍفِيهِ يَعْنِي حَدِيثَ ابْنِ بُرَيْدَةَ الْقُضَاةُ ثَلَا ثَةٌ
(رواه أبو داود في السنن, كتاب الأقضية, باب في القا
ضي يخطئ)
B. TARJAMAH
Dari Buraidah r.a, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda, “Hakim itu ada tiga macam: Dua hakim berada di neraka
dan satu di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran kemudian ia menetapkan hukum
dengannya, maka ia berada di surga. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran,
tetapi ia tidak menetapkan hukum dengannya dan berlaku curang dalam hukum, maka
ia berada di neraka. Dan hakim yang tidak mengetahui kebenaran lalu menetapkan
hukum kepada manusia di atas kebodohan, maka ia berada di neraka.”[1]
C. MUFRODAT
TERJEMAH
|
TEKS ARAB
|
Hakim, orang yang
mengadili
|
التضا
ة
|
Surga
|
الجنة
|
Neraka
|
النار
|
Mengetahui, memahami
|
عرف,
يعرف
|
Kebenaran
|
الحق
|
Berlaku curang
|
جار
|
Kebodohan
|
جهل
|
D. BIOGRAFI
PERAWI
Nama lengkap Abu
Buraidah adalah Buraidah bin Al-Hasib bin Abdullah bin Al-Harits bin Al-A’roj
Saad bin Zarah bin udwy bin Sahm bin Mazin bin Al-Harits bin Salaman bin Aslam
bin Afsha Al-Aslamy. Biasa dipanggil Abu Abdullah. Pendapat lain mengatakan Abu
Sahl dan Abu Sasan.
Abu Buraidah
Al-Aslami adalah salah seorang sahabat nabi Muhammad dan dia adalah salah
seorang narator hadis. Dia tidak termasuk dalam salah seorang pendukung Abu
Bakar selama dalam pertemuan di Saqifah. [2]
Perintah Rasulullah
kepada umat islam untuk berhijrah ke Madinah setelah mendapat tekanan dan
siksaan dari kafir Quraisy memberikan makna penting bagi tersebarnya ajaran
Islam. Hikmah perintah berhijrah adalah semakin banyak orang-orang yang memeluk
Islam dan dukungan dari kaum Anshar. Bukan tekanan dan siksaan sebagaimana yang
terjadi di Makah. Buraidah termasuk dinatara para kaum Anshar yang menyatakan
diri untuk membela ajaran Islam yang dibawa Rasulullah bersama kawan-kawannya
yang lain, beliau ikut salat jamaah di belakang Rasulullah.
Dari Abdullah bin
Buraidah bercerita bahwa ayahnya bersama 70 orang dari keluarganya dari bani
Sahm melakukan suatu perjalanan. Kemudian berjumpa dengan Rasulullah. Rasul
bertanya, “kamu siapa?’ beliau menjawab,”orang yang memeluk Islam (waktu itu).”
Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, “apakah kita terima?” setelah itu rasul
bertanya, “dari Bani apa?” Beliau menjawab, “dari Bani Sahm.” Rasulullah
berkata, “alangkah beruntungnya kamu.”
Banyak pengalaman
dan kenangan manis selama bergaul dan berintraksi dengan sahabat-sahabat lain.
Diantara shabat yang paling dicintai adalah Ali bin Abi Thalib. Hidupnya
didedikasikan untuk berjuang di jalan Allah. Beliau pernah ikut perang di
Khourasan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Beliau wafat pada masa khalifah
Yazid bin Muawiyah. Menurut Ibnu Saad beliau berusia 63 tahun.[3]
E. KETERANGAN
HADIST
Hadits di atas membagi keberadaan hakim
ke dalam tiga golongan:
Pertama, hakim yang mengetahui kebenaran dan hukum syariat,
lalu ia menetapkan hukum dengannya, maka ia berarti sosok yang kuat yang daoat
dipercaya atas jabatan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Hakim seperti
ini termasuk ahli surga.
Kedua, hakim yang mengetahui
kebenaran dan sangat memahami sekali hukum syariat akan tetapi hawa nafsunya
–Aku berlindung kepada Allah- menipunya lalu ia menetapkan hukum dengan tidak
benar. Hakim seperti ini termasuk penghuni neraka.
Ketiga, hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak
memahami hukum syariat, akan tetapi ia memberanikan diri dan menetapkan hukum
dengan kebodohan. Hakim seperti ini termasuk penghuni neraka, baik hukum yang
ditetapkannya benar atau salah.
Syaikhul Islam berkata,
“Para hakim terbagi menjadi tiga golongan: Hakim yang layak, hakim yang tidak
layak dan hakim yang tidak diketahui kelayakannya. Keputusan hukum dari hakim
yang layak tidak boleh ditolak, kecuali apabila diketahui bahwa hukum tersebut
bathil. Hakim yang tidak layak tidak dapat dilaksanakan ketetapan hukumnya
kecuali setelah diketahui bahwa ketetapan hukumnya benar. Pendapat ini dipilih
oleh Al Muwaffaq dan ulama lainnya.[4]
F. ASPEK TARBAWI
peradilan
berarti menetapkan hukum sayariat dan menyelesaikan pertikaian. Seorang hakim
memiliki tiga sifat : dari sisi penetapan dakwaan, ia sebagai saksi. Dari sisi
penjelasan hukum, ia sebagai mufti. Dan dari sisi penetapan hukum, ia sebagai
pemilik kekuasaan.
Peradilan
adalah fardu kifayah, seperti masalah kepemimpinan pemerintahan. Imam ahmad
berkata, “ masyarakat harus memiliki seorang hakim agar hak – hak mereka tidak
hilang”.
Syaikh
muhammad bin Ibrahim berkata, “Kami mendengar bahwa sebagian hakim
mengembalikan beberapa berkas kasus ke meja kerja atau ke kantor-kantor lainnya
dengan alasan bahwa kasus tersebut merupakan persoalan instansi tertentu.
Sebenarnya seorang hakim tidak perlu khawatir, sebab syariat Islam telah
memberikan jaminan di mna ia dapat memperbaiki kondisi manusia di berbagai bidangnya.
Dalam syariat Islam sudah ada perangkat yang memadai untuk menyelesaikan
pertikaian, permusuhan dan menjelaskan kemusykilan-kemusykilan yang ada.
Memindahkan masalah-masalah hukum kepada instansi tersebut berarti menetapkan
undang-undang konvensional dan memperlihatkan bahwa pengadilan agama ternayata
tidak mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu kajilah apa yang ada pada
kalian dan tetapkanlah dengan hukum yang dituntut oleh syariat Islam.”
Syaikh
Taqiyyuddin berkata, “Jabatan peradilan tidak dapat dikukuhkan kecuali
berdasarkan keputusan dari seorang pemimpin negara atau wakilnya karena
kekuasaan hukum termasuk kepentingan umum. Oleh karena itu ia tidak boleh
dikukuhkan kecuali oleh keptusan seorang pemimpin. Peradilan memiliki kekuatan
ian dlaam merealisasikan hukum tersebut. Sementara sifat amanah kembali kepada
sifat takut kepada Allah.”
Syaikh
Taqiyyuddin juga berkata, “Syarat-syarat seorang hakim tergantung pada
kapabilitasnya. Seorang pemimpin harus mengangkat hakim yang paling ideal. Ungkapan imam Ahmad dan ulama lainnya
menunjukkan hal ini. Ungkapan tersebut:’seorang pemimpin negara jika tidak
menjumpai seorang hakim yang bertakwa, maka ia harus memilih hakim yang paling
bermanfaat dari orang-orang fasik yang
ada memiliki keburukan yang sedikit, paling adil dan orang yang paling
mengetahui kondisi masyarakat.”
Ibnul
Qayyim berkata, “Mengetahui sepak terjang masyarakat dan kondisi mereka
merupakan prinsip penting yang dibutuhkan oleh seorang hakim. Apabila seorang
hakim tidak mengetahui hal tersebut serta maslah perintah dan larangan yang ada
dalam Al Qur’an kemudian ia menetapkan suatu hukum, maka kerusakan yang
didapatkan lebih besar dari pada kemaslahatannya.”
Apabila
seorang hakim tidak mengerti maslah kejiwaan, karakter bukti dan saksi, hukum
yang umum, maka ia akan menghilangkan banyak
hak orang lain, menetapkan hukum yang diketahui oleh masyarakat
kesalahannya, karena didasarkan pada aspek lahiriah dan tidak meninjau pada
aspek batinnya. Dengan demikian merujuk kepada indikator-indikator dalam hukum
merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh para fuqaha.
Dikatakan
dalam At-Tanwir seorang hakim hendaklah dipastikan baik sikapnya, cerdas
akalnya, orang baik-baik, paham dan mengetahui masalah sunah Nabi SAW dan atsar
serta masalah fikih dan ijtihad. Jika tidak demikian, maka ia akan menjadi
seorang hakim yang keras dan kasar. Dikatakan dalam Radd Al Mukhtar yang
bermadzhab Abu hanifah dan Syarh Al Iqna yang bermadzhab Hambali, “seorang
hakim hendaklah tegas tetapi tidak keras, lembut tetapi tidak lemah. Seorang
hakim harus seorang yang paling pandai, paling kuat, paling berwibawa dan
paling sabar dalam menghadapi maslah. Inilah hakim yang utama.
PENUTUP
[2] http:dictionary.sensaqent.com/abu+buraidah+al-aslami/en-en
(diakses: 20 februari, 10.03)
[3] http://awie-doank.blogspot.com/2007/08/buraidah-bin-al-hashib.html
(diakses: 20 februari, 10.22)
makasih , banyak banget manfaatnya,,, kalau bisa ada ayat alQUR'AN nya juga sekalian biar ilmunya lebih mantap
BalasHapus