Selasa, 17 April 2012

hadits tarbawi tentang keadilan hukum


MAKALAH
MEMBANGUN KEADILAN HUKUM
( Hakim Harus Adil dan Terpercaya )

Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah  : Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu : Muhammad Hufron, M.S.I












Disusun oleh :
Ahmad Ainun Najib
2021110093
Kelas : B

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2012
PENDAHULUAN


Al qadha’ secara etimologi adalah bentuk masdar dari qadha, yaqdhi qadha’an fahuwa qaqdhin. Al qadha’ dapat diartikan dengan beberapa arti, yaitu: menetapkan hukum, memisahkan, menghukumi, melewati, selesai dari sesuatu dan menciptakan. Makna yang nampak dalam pembahsan in adalah menetapkan hukum.
Bentuk jamak dari al-qaha’ adalah aqdhiyah. Kata al qadha dapat dijamak, sekalipun berupa masdar. Pada hakekatnya masdar tidak dapat dibuat jamak dari sisi jenisnya.
Secara terminologi, makna al qadha’ berarti menetapkan hukuman dan memisahkan persengketaan.
Menetapkan hukum syariat merupakan fardhu kifayah. Masyarakat harus mempunyai seorang hakim agar hak-hak mereka tidak sia-sia.
Dalam aspek hukum terdapat keutamaan yang besar bagi siapa saja yang kuat mengembannya serta melaksanakan hak-haknya. Pelaksanaan hukum lebih utama dari ibadah lainnya yang dilandasi dengan niat. Dalam pelaksanaan hukum terdapat hal yang sangat strategis sekali dan berdosa besar bagi orang yang tidak melaksanakan haknya.
Seorang pemimpin muslim harus memilih jabatan ini bagi orang yang paling utama dalam hal ilmu pengetahuan  dan sifat wara’. Apabila tidak ditemukan, maka carilah yang ideal kemudian yang sedang dan seterrusnya.
Seorang hakim harus memiliki etika di mana hal tersebut dikemukakan dalam kitab Al Qadha yang baik sekali apabila merujuk kepadanya.










A.     MATERI HADIST
عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : (الْقُضَاةُ ثَلاَ ثَةٌ وَا حِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجَلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى للنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّا رِ ) قَالَ أَبُو دَاوُد وَ هَذَا أَصَحُّ شَيْ ءٍفِيهِ يَعْنِي حَدِيثَ ابْنِ بُرَيْدَةَ الْقُضَاةُ ثَلَا ثَةٌ
(رواه أبو داود في السنن, كتاب الأقضية, باب في القا ضي يخطئ)

B.     TARJAMAH
Dari Buraidah r.a, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Hakim itu ada tiga macam: Dua hakim berada di neraka dan satu di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran kemudian ia menetapkan hukum dengannya, maka ia berada di surga. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi ia tidak menetapkan hukum dengannya dan berlaku curang dalam hukum, maka ia berada di neraka. Dan hakim yang tidak mengetahui kebenaran lalu menetapkan hukum kepada manusia di atas kebodohan, maka ia berada di neraka.”[1]

C.     MUFRODAT
TERJEMAH
TEKS ARAB
Hakim, orang yang mengadili
التضا ة
Surga
الجنة
Neraka
النار
Mengetahui, memahami
عرف, يعرف
Kebenaran
الحق
Berlaku curang
جار
Kebodohan
جهل
        

D.     BIOGRAFI PERAWI
Nama lengkap Abu Buraidah adalah Buraidah bin Al-Hasib bin Abdullah bin Al-Harits bin Al-A’roj Saad bin Zarah bin udwy bin Sahm bin Mazin bin Al-Harits bin Salaman bin Aslam bin Afsha Al-Aslamy. Biasa dipanggil Abu Abdullah. Pendapat lain mengatakan Abu Sahl dan Abu Sasan.
Abu Buraidah Al-Aslami adalah salah seorang sahabat nabi Muhammad dan dia adalah salah seorang narator hadis. Dia tidak termasuk dalam salah seorang pendukung Abu Bakar selama dalam pertemuan di Saqifah. [2]
Perintah Rasulullah kepada umat islam untuk berhijrah ke Madinah setelah mendapat tekanan dan siksaan dari kafir Quraisy memberikan makna penting bagi tersebarnya ajaran Islam. Hikmah perintah berhijrah adalah semakin banyak orang-orang yang memeluk Islam dan dukungan dari kaum Anshar. Bukan tekanan dan siksaan sebagaimana yang terjadi di Makah. Buraidah termasuk dinatara para kaum Anshar yang menyatakan diri untuk membela ajaran Islam yang dibawa Rasulullah bersama kawan-kawannya yang lain, beliau ikut salat jamaah di belakang Rasulullah.
Dari Abdullah bin Buraidah bercerita bahwa ayahnya bersama 70 orang dari keluarganya dari bani Sahm melakukan suatu perjalanan. Kemudian berjumpa dengan Rasulullah. Rasul bertanya, “kamu siapa?’ beliau menjawab,”orang yang memeluk Islam (waktu itu).” Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, “apakah kita terima?” setelah itu rasul bertanya, “dari Bani apa?” Beliau menjawab, “dari Bani Sahm.” Rasulullah berkata, “alangkah beruntungnya kamu.”
Banyak pengalaman dan kenangan manis selama bergaul dan berintraksi dengan sahabat-sahabat lain. Diantara shabat yang paling dicintai adalah Ali bin Abi Thalib. Hidupnya didedikasikan untuk berjuang di jalan Allah. Beliau pernah ikut perang di Khourasan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Beliau wafat pada masa khalifah Yazid bin Muawiyah. Menurut Ibnu Saad beliau berusia 63 tahun.[3]


E.     KETERANGAN HADIST
         Hadits di atas membagi keberadaan hakim ke dalam tiga golongan:
         Pertama, hakim yang mengetahui kebenaran dan hukum syariat, lalu ia menetapkan hukum dengannya, maka ia berarti sosok yang kuat yang daoat dipercaya atas jabatan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Hakim seperti ini termasuk ahli surga.
         Kedua, hakim yang mengetahui kebenaran dan sangat memahami sekali hukum syariat akan tetapi hawa nafsunya –Aku berlindung kepada Allah- menipunya lalu ia menetapkan hukum dengan tidak benar. Hakim seperti ini termasuk penghuni neraka.
         Ketiga, hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak memahami hukum syariat, akan tetapi ia memberanikan diri dan menetapkan hukum dengan kebodohan. Hakim seperti ini termasuk penghuni neraka, baik hukum yang ditetapkannya benar atau salah.
         Syaikhul Islam berkata, “Para hakim terbagi menjadi tiga golongan: Hakim yang layak, hakim yang tidak layak dan hakim yang tidak diketahui kelayakannya. Keputusan hukum dari hakim yang layak tidak boleh ditolak, kecuali apabila diketahui bahwa hukum tersebut bathil. Hakim yang tidak layak tidak dapat dilaksanakan ketetapan hukumnya kecuali setelah diketahui bahwa ketetapan hukumnya benar. Pendapat ini dipilih oleh Al Muwaffaq dan ulama lainnya.[4]             
F.      ASPEK TARBAWI
peradilan berarti menetapkan hukum sayariat dan menyelesaikan pertikaian. Seorang hakim memiliki tiga sifat : dari sisi penetapan dakwaan, ia sebagai saksi. Dari sisi penjelasan hukum, ia sebagai mufti. Dan dari sisi penetapan hukum, ia sebagai pemilik kekuasaan.
Peradilan adalah fardu kifayah, seperti masalah kepemimpinan pemerintahan. Imam ahmad berkata, “ masyarakat harus memiliki seorang hakim agar hak – hak mereka tidak hilang”.
Syaikh muhammad bin Ibrahim berkata, “Kami mendengar bahwa sebagian hakim mengembalikan beberapa berkas kasus ke meja kerja atau ke kantor-kantor lainnya dengan alasan bahwa kasus tersebut merupakan persoalan instansi tertentu. Sebenarnya seorang hakim tidak perlu khawatir, sebab syariat Islam telah memberikan jaminan di mna ia dapat memperbaiki kondisi manusia di berbagai bidangnya. Dalam syariat Islam sudah ada perangkat yang memadai untuk menyelesaikan pertikaian, permusuhan dan menjelaskan kemusykilan-kemusykilan yang ada. Memindahkan masalah-masalah hukum kepada instansi tersebut berarti menetapkan undang-undang konvensional dan memperlihatkan bahwa pengadilan agama ternayata tidak mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu kajilah apa yang ada pada kalian dan tetapkanlah dengan hukum yang dituntut oleh syariat Islam.”
Syaikh Taqiyyuddin berkata, “Jabatan peradilan tidak dapat dikukuhkan kecuali berdasarkan keputusan dari seorang pemimpin negara atau wakilnya karena kekuasaan hukum termasuk kepentingan umum. Oleh karena itu ia tidak boleh dikukuhkan kecuali oleh keptusan seorang pemimpin. Peradilan memiliki kekuatan ian dlaam merealisasikan hukum tersebut. Sementara sifat amanah kembali kepada sifat takut kepada Allah.”
Syaikh Taqiyyuddin juga berkata, “Syarat-syarat seorang hakim tergantung pada kapabilitasnya. Seorang pemimpin harus mengangkat hakim yang paling  ideal. Ungkapan imam Ahmad dan ulama lainnya menunjukkan hal ini. Ungkapan tersebut:’seorang pemimpin negara jika tidak menjumpai seorang hakim yang bertakwa, maka ia harus memilih hakim yang paling bermanfaat dari  orang-orang fasik yang ada memiliki keburukan yang sedikit, paling adil dan orang yang paling mengetahui kondisi masyarakat.”
Ibnul Qayyim berkata, “Mengetahui sepak terjang masyarakat dan kondisi mereka merupakan prinsip penting yang dibutuhkan oleh seorang hakim. Apabila seorang hakim tidak mengetahui hal tersebut serta maslah perintah dan larangan yang ada dalam Al Qur’an kemudian ia menetapkan suatu hukum, maka kerusakan yang didapatkan lebih besar dari pada kemaslahatannya.”
Apabila seorang hakim tidak mengerti maslah kejiwaan, karakter bukti dan saksi, hukum yang umum, maka ia akan menghilangkan banyak  hak orang lain, menetapkan hukum yang diketahui oleh masyarakat kesalahannya, karena didasarkan pada aspek lahiriah dan tidak meninjau pada aspek batinnya. Dengan demikian merujuk kepada indikator-indikator dalam hukum merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh para fuqaha.
Dikatakan dalam At-Tanwir seorang hakim hendaklah dipastikan baik sikapnya, cerdas akalnya, orang baik-baik, paham dan mengetahui masalah sunah Nabi SAW dan atsar serta masalah fikih dan ijtihad. Jika tidak demikian, maka ia akan menjadi seorang hakim yang keras dan kasar. Dikatakan dalam Radd Al Mukhtar yang bermadzhab Abu hanifah dan Syarh Al Iqna yang bermadzhab Hambali, “seorang hakim hendaklah tegas tetapi tidak keras, lembut tetapi tidak lemah. Seorang hakim harus seorang yang paling pandai, paling kuat, paling berwibawa dan paling sabar dalam menghadapi maslah. Inilah hakim yang utama.










PENUTUP



[1]
[2] http:dictionary.sensaqent.com/abu+buraidah+al-aslami/en-en (diakses: 20 februari, 10.03)
[4]

1 komentar:

  1. makasih , banyak banget manfaatnya,,, kalau bisa ada ayat alQUR'AN nya juga sekalian biar ilmunya lebih mantap

    BalasHapus